#PTPN7#BERITALAMPUNG

PTPN VII Nilai Larangan Ekspor dan Penangkapan Mafia Minyak Goreng Jadi Shock Therapy

( kata)
PTPN VII Nilai Larangan Ekspor dan Penangkapan Mafia Minyak Goreng Jadi <i>Shock Therapy</i>
Direktur PTPN VII, Ryanto Wisnuardhy saat menerima kunjungan pimpinan redaksi Lampung Post Iskandar Zulkarnain (Kiri-Baju Hitam) di Kantor PTPN VII, Jalan Teuku Umar, Bandar Lampung, Selasa, 26 April 2022. Lampost.co/Triyadi Isworo


Bandar Lampung (Lampost.co) -- Direktur PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII, Ryanto Wisnuardhy menyambut baik adanya kebijakan Presiden Joko Widodo terkait larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) mulai 28 April 2022 dan penangkapan mafia minyak goreng yang menjadi sorotan masyarakat.

"Kebijakan Pak Presiden Jokowi sudah baik, pengawasan harus dilakukan ketat. Ini sebagai shock therapy atau terapi kejut bagi perusahaan nakal. Ke depan, harapannya tata kelola semakin baik," katanya saat menerima kunjungan pimpinan redaksi Lampung Post, Iskandar Zulkarnain di Kantor PTPN VII, Jalan Teuku Umar, Bandar Lampung, Selasa, 26 April 2022. 

Ryanto melanjutkan perkebunan sawit dikelola oleh PTPN di Aceh, PTPN II, III IV di Sumatera Utara, PTPN V di Riau, PTPN VI di Jambi, PTPN VII di Lampung, PTPN VIII di Jawa Barat, PTPN IX di Jawa Tengah, PTPN XIII di Kalimantan Barat, dan PTPN XIV di Sulawesi Selatan.

"Meski kami mengelola sawit, tetapi kontribusi PTPN hanya 6% saja. Paling banyak sawit milik rakyat yang menguasai hampir 45% dari seluruh komoditas. Sisanya koorporasi besar seperti PT. Sinar Mas, PT Astra Agro Lestari, PT Salim Ivomas Pratama dan sebagainya," ujar dia.

Baca juga: Kebijakan Larangan Ekspor Bikin Harga Sawit Jatuh

PTPN VII memiliki kebun sawit di Lampung, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. Saat ini tanaman produktif yang dimiliki seluas 27.500 ha. PTPN hanya memproduksi CPO saja dan belum menjadi minyak goreng. Secara nasional hanya ada 1 tempat industri pengelolaan sawit yakni di Sei Mangke Sumatera Utara.

"Kami tidak bisa mengontrol harga di pasar. Karena kami bergerak di sektor hulu. Secara nasional juga produksi CPO PTPN kecil hanya 6%," kata Ryanto.

Namun, pada masyarakat minyak goreng menjadi persoalan. Menurut Ryanto, minyak sawit merupakan komoditas yang sedikit intervensi dari pemerintah. Dia menyatakan pemerintah hanya bisa intervensi di Harga Eceran Tertinggi (HET). Selebihnya dilempar kepada pasar. Sehingga ketergantungan supply dan demand secara global sangat besar. Kemudian, harga CPO dunia juga mengalami kenaikan sehinga harga modal juga bergerak naik.

"Harga CPO yang naik ikut berdampak kepada perusahaan. Harga dasar CPO Rp18 ribu, dari 1 kg CPO hanya bisa 70-80% saja yang menjadi minyak goreng. Untuk 1 liter minyak goreng, bahan dasarnya sampai Rp20 ribu/liter. Bila dijual Rp14 ribu/liter maka perusahaan gak bakal untung," ujar Ryanto.

 

Wandi Barboy








Berita Terkait



Komentar