#cuaca#kemarau#kebakaran

Modifikasi Cuaca Solusi Antisipasi Kebakaran di Musim Kemarau Ekstrem

( kata)
Modifikasi Cuaca Solusi Antisipasi Kebakaran di Musim Kemarau Ekstrem
Ilustrasi cuaca ekstrem. (Foto: Dok. Lampost)


Bandar Lampung (Lampost.co) -- Musim kemarau yang tengah berlangsung menghadirkan ancaman serius terhadap meningkatnya risiko kebakaran lahan. Kondisi ini diperparah oleh cuaca ekstrem di musim kemarau.

Akademisi Sains Atmosfer dan Keplanetan dari Institut Teknologi Sumatera (Itera), Deni Okta Lestari, menjelaskan bahwa faktor El Nino menjadi salah satu penyebab fenomena ini. El Nino merupakan anomali iklim yang menyebabkan perubahan suhu permukaan laut, mengakibatkan penurunan curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia.

Deni menjelaskan, ketika suhu permukaan laut normalnya lebih hangat di Indonesia dibandingkan wilayah Pasifik tengah dan timur, saat ini terjadi kebalikannya. Wilayah Indonesia menjadi lebih dingin sedangkan Pasifik tengah dan timur lebih hangat.

"Dampaknya terasa dengan penurunan intensitas curah hujan, berpotensi menyebabkan penurunan tinggi muka air tanah dan meningkatkan risiko kebakaran lahan," kata dia, Kamis, 24 Agustus 2023.

Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatisipasi terjadinya potensi kebakaran lahan saat musim kemarau menurut Deni adalah dengan teknologi modifikasi cuaca. Teknologi ini sebelumnya telah berhasil diterapkan di beberapa wilayah Indonesia. Termasuk pada saat penyelenggaraan sea games di Sumatera Selatan beberapa tahun lalu.

Teknologi ini memanfaatkan potensi pembentukan awan hujan yang masih ada di wilayah tropis seperti Indonesia. Dengan memanipulasi awan menggunakan teknologi modifikasi cuaca, hujan dapat diarahkan turun di wilayah yang rentan terhadap kebakaran.

"Sebetulnya pada prinsipnya kita sebagai negara tropis tetap ada potensi pembentukan awan-awan hujan. Tetapi memang jauh lebih rendah dibandingkan ketika musim penghujan. Sehingga potensi pembentukan awan-awan inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan teknologi modifikasi cuaca untuk kemudian kita bisa memodifikasi supaya Hujannya turun di wilayah yang rentan terhadap kebakaran," kata dia.

Namun Deni mengakui bahwa hambatan terbesar untuk menerapkan modifikasi cuaca ini adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan. "Problemnya memang anggaran yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah untuk sekali menerbangkan pesawat yang membawa bahan baku untuk penyemaian," kata dia.

Kemudian hambatan lainnya proses modifikasi cuaca betul-betul bergantung dengan alam. Sehingga jika tidak ada potensi awan maka proses penyemaian tidak akan bisa dilakukan. Peran penting dari pemerintah menurut Deni sangat diperlukan, harus ada inisiasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat untuk tidak panik dalam menghadapi kondisi ini.

"Sebetulnya kondisi ini pernah kita alami Tetapi bagaimana kita menyiapkannya dan juga yang perlu diwaspadai lagi ketika kondisi lingkungan sedang kering dimana curah hujan lebih rendah artinya ketika ada pemicu itu sangat rawan terjadi kebakaran," kata dia.

 

Kemarau Lebih Panjang

Secara terpisah Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Stasiun Metrologi Lampung, Rudi Harianto, menjelaskan bahwa musim kemarau di wilayah Lampung diperkirakan akan berlangsung pada Agustus dan berlanjut pada September 2023. Fenomena El Nino akan meningkatkan suhu air laut di Pasifik bagian tengah dan timur, mengakibatkan berkurangnya awan hujan di Indonesia. Indeks El Nino sampai dengan Agustus ini menurutnya mencapai +1,4 menandakan kategori El Nino moderat.

"Dampaknya di Indonesia awan-awannya menjadi berkurang sehingga menimbulkan kemarau yang tidak biasanya atau lebih panjang dan kering dibandingkan dengan rata-ratanya," kata dia.

Adapun untuk kondisi saat ini di samping potensi El Nino, menurut Rudi pergerakan monsun Australia atau angin yang berhembus dari benua Australia menuju ke Asia sedang menguat. Sehingga ada potensi untuk terjadi kemarau yang relatif kering dibandingkan dengan Tahun 2022 lalu.

"Ini relatif lebih kering atau curah hujannya lebih sedikit dan prakirakan di bulan September nanti itu secara umum curah hujannya kriterianya rendah yaitu berkisar 21 hingga 100 mm per bulan dengan sifat hujannya di bawah normal hingga normal," kata dia.

Untuk itu, yang harus diwaspadai menurutnya adalah daerah dengan topografi lahan bergambut. Dengan suhu yang relatif panas hal itu bisa menyebabkan kebakaran hutan secara alami. "Biasanya melalui gesekan gesekan antar tumbuhan sehingga menimbulkan percikan api yang biasanya terjadi di tanah gambut yang di musim kemarau airnya berkurang atau kering," ujarnya.

Deni Zulniyadi








Berita Terkait



Komentar