Jangan Ubah Sayang Jadi Dendam

Sudjarwo
Profesor Ilmu Sosial di FKIP Unila
TULISAN ini diilhami sebuah artikel yang dibuat seorang jurnalis jempolan di harian ini yang menulis tentang obituarium seorang tokoh. Karena perbedaan pandangan politik, sang tokoh harus mendekam di tahanan. Namun, persoalannya bukan tentang penahanan tokoh tersebut, melainkan bagaimana sang jurnalis memilih diksi sehingga menginspirasi pembaca, yakni bahwa dendam ternyata tidak menyelesaikan masalah. Atas dasar itulah tulisan ini mengalir ke hadapan sidang pembaca.
Syahdan pada babat Yudha Branta atau yang dikenal dengan Kisah Rama Wijaya, pada satu episodenya menceritakan seorang ksatria adik kandung dari Prabu Dasamuka, Raja Alengka, yang diusir dari kerajaan. Sang adik diusir karena berani memperingatkan sang kakak untuk tidak meneruskan niatnya mencuri istri orang, yaitu Dewi Sinta, istri Prabu Rama Wijaya. Kesatria itu bernama Raden Gunawan Wibisana.
Dengan hati yang pilu, Wibisana meninggalkan Alengka dan ia menuju Kerajaan Ayodya, tempat Prabu Rama Wijaya bermukim. Sesampai di sana beliau menceritakan hal ihwal tentang abangnya yang telah mencuri Dewi Sinta. Sejak saat itu, Wibisana menjadi arsitek perang Kerajaan Ayodya melawan Alengka yang tidak lain adalah para saudaranya sendiri.
Harta Dunia
Peristiwa kekinian yang tidak kalah seru dengan cerita di atas adalah kejadian nyata di Bandung, Jawa Barat. Ada orang tua digugat anak kandungnya di pengadilan hanya karena persoalan harta dunia. Usia renta sang ayah tidak menyurutkan nafsu anak-anaknya untuk menjadikan orang tuanya duduk sebagai terdakwa di depan meja pengadilan.
Prahara menelan korban penasihat hukum, yang juga anaknya sendiri dan berperan sebagai penuntut orang tua itu, akhirnya meninggal. Namun, nafsu untuk menuntut harta dunia atas nama keadilan, sekalipun itu pada orang yang melahirkan dirinya di dunia ini, tetap tidak menyurutkan niat tersebut.
Peristiwa lain lagi yang mungkin sangat pribadi tetapi aneh, yaitu ada pasangan yang sudah tidak muda lagi. Mereka berdua sedang asyik masyuk bernostalgia. Pasangan usia senja itu tampak dari luar sangat mesra. Namun, sangat mengejutkan. Pada waktu ditanyakan kepada salah satu pasangan mengenai kemesraan mereka, ia menjawab kemesraan itu hanya untuk mengisi waktu. Pasalnya, setiap dia melihat muka pasangannya yang terbayang adalah muka belis (segugus dengan iblis).
Ayat Suci
Ketiga peristiwa di atas jika parameter moral dan etika yang kita gunakan, maka satu kata yang dapat kita simpulkan, yaitu berubahnya sayang menjadi dendam. Kita tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupan ini ternyata menyimpan penyimpangan sosial seperti itu. Sesuatu yang rasanya sulit diterima akal untuk bisa terjadi ternyata peristiwa itu benar-benar terjadi.
Banyak hal bisa terjadi di dunia ini di luar jangkauan kebenaran moral yang selama ini kita bakukan menjadi patron. Sebagai pemimpin bisa saja satu sisi dia bermuka sebagai begawan yang membawa keteduhan, bahkan berlindung di balik ayat-ayat suci ketuhanan. Sementara sisi muka lainnya berwajah serigala yang siap menerkam apa saja, termasuk melakukan kesewenang-wenangan terhadap siapa pun yang tidak sejalan dengan dia. Pada hal semua kita mengetahui bahwa makna kehidupan ini ada pada keragaman perbedaan.
Model kehidupan sayang menjadi dendam ini selalu ada dari masa ke masa. Namun, masalahnya, pandaikah kita membaca tanda-tanda zaman itu? Bahkan proses itu bisa jadi sedang berlangsung di sekeliling kita. Hanya karena kita hanyut sebagai pelaku, penikmat, atau paling tidak pengamat, semuanya menjadi tidak begitu terasa.
Orang waskita akan selalu berkontemplasi, mengambil jarak agar tidak larut, kemudian memaknai sisi-sisi kehidupan tadi guna mesu budi agar tetap berdiri tegak sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan bukan berarti kegilaan, melainkan bermakna mampu memberikan perlakuan sama terhadap semua peristiwa yang terjadi. Sebab, segala sesuatu itu memiliki tempat dan waktu yang telah ditentukan sebagai kodrat. Sadarkah kita sebagai pelakon yang tidak selamanya memiliki panggung kehidupan ini?
Berdamai
Hari-hari ini pun kita disuguhi bagaimana perubahan itu terjadi. Mulai dari kisruh partai politik sampai dengan orang tua anak yang pacaran juga ikut kisruh. Semua bermula dari bagaimana mengubah rasa sayang menjadi dendam. Semua seolah ikut membenarkan tesis dalam ilmu sosial bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan.
Oleh karena itu, mari kita berdamai dengan diri kita sekalipun itu tidak mudah. Sebab, di sana ada ego yang selalu ingin keluar sebagai pemenang, sekalipun sebenarnya adalah pecundang.
Keberterimaan akan keadaan ini adalah jalan damai yang harus kita tempuh sebagai manusia. Jika kita mau jujur semua apa yang kita minta kepada Tuhan selalu diberi, tetapi soal waktu dan tempat pemberian itu bukanlah kewenangan kita. Sebelum terlambat, mari kita bersama-sama meluangkan waktu untuk merenungkan kembali ke mana setelah kita hidup ini dan bekal apakah yang sudah kita siapkan?
Wandi Barboy
Komentar