Astronom Sebut Gerhana Matahari Hibrida Belum Cukup Syarat untuk Pergantian Bulan Syawal

Bandar Lampung (lampost.co)--Gerhana matahari hibdrida kerap dianggap memiliki korelasi antara penentuan 1 Syawal 1444 Hijriah. Astronom dari Institut Teknologi Sumatera (Itera) Robiatul Muztab mengatakan korelasi dengan penentuan bulan Syawal adalah ketika matahari, bulan, dan bumi dalam keadaaan segaris atau peristiwa astronominya disebut sebagai konjungsi.
Adji sapaan akrabnya, menjelaskan fenomena konjungsi tersebut bisa menjadi satu siklus dalam penentuan awal bulan baru setiap bulannya.
Namun, jika ditinjau lebih dalam, fenomena gerhana matahari hibdrida nanti, konjungsi atau kesegarisan antara matahari, bulan, dan bumi terjadi pada siang hari pukul 11.13 WIB.
Baca Juga:Besok Ada Gerhana Matahari Hybrid, BMKG Ingatkan Potensi Pasang Air Laut
"Yang artinya secara hitungan setelah pukul 11.13 sudah dianggap memasuki bulan baru," katanya, Kamis, 20 April 2023.
Akan tetapi, menurut Adji ada kriteria-kriteria tertentu dalam Islam untuk menentukan bulan baru.
Baca Juga: Lampung Pantau Hilal di 2 Titik
Data astronomi yang sudah dihimpun oleh tim Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL), menunjukkan tinggi bulan saat matahari terbenam, Kamis, 20 April 2023 berada pada 1 derajat 46 menit busur, elongasi 2 derajat 45 menit busur.
Dari data posisi tersebut, hilal atau bulan sabit masih di bawah kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) untuk ditentukan sebagai awal bulan Hijriyah .
"Dikarenakan syaratnya ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi 6.4 derajat. Dari kondisi tersebut kemungkinan hilal tidak terlihat pada pengamatan hilal 20 April 2023, sehingga Jumat belum masuk Syawal, " jelasnya.
Namun, Adji juga meminta kepada masyarakat untuk menunggu keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) melalui sidang isbatnya yang akan digelar hari ini.
"Tapi kepastian tanggal 1 Syawal, kita mesti nunggu sidang isbat ya," pungkasnya.
Sri Agustina
Komentar